Ajaran-Ajaran Presiden
Tragedi atau Tujuan Akhir?


Bab 2

Tragedi atau Tujuan Akhir?

Ketika kita menghadapi tragedi yang nyata berupa kedukaan, penderitaan dan kematian, kita haruslah menempatkan kepercayaan kita kepada Allah.

Dari Kehidupan Spencer W. Kimball

Sejak dini di masa kanak-kanaknya, Spencer W. Kimball telah menderita kepedihan yang datang dari kematian orang yang dikasihinya. Ketika dia berusia delapan tahun, adiknya Mary meninggal tak lama setelah kelahirannya. Sebulan kemudian, orang tua Spencer merasakan bahwa Fannie yang berusia 5 tahun, yang telah menderita selama beberapa minggu, akan segera meninggal dunia. Spencer kemudian bercerita tentang hari ketika Fannie meninggal: “Pada hari ulang tahun saya yang kesembilan Fannie meninggal dalam pelukan Ibu. Kami anak-anak semua dibangunkan di awal malam itu untuk ikut hadir. Saya rasanya mengingat pemandangan di ruang tamu kami …, ibu saya yang terkasih meratap dengan putrinya yang berusia 5 tahun yang tengah sekarat di dalam pelukannya dan kami semua berkerumun mengitarinya.”1

Bahkan lebih sulit lagi bagi Spencer muda adalah berita yang diterimanya dua tahun kemudian, ketika dia beserta adik dan kakaknya dipanggil pulang dari sekolah pada suatu pagi. Mereka berlari pulang dan ditemui oleh uskup mereka, yang mengumpulkan mereka di sekitarnya dan memberi tahu mereka bahwa ibu mereka telah meninggal sehari sebelumnya. Presiden Kimball kemudian mengenang: “Itu datang bagaikan petir. Saya berlari dari rumah keluar ke halaman belakang agar bisa berada sendirian dalam deraian air mata saya. Di luar batas penglihatan dan pendengaran orang lain, saya menangis dan menangis terisak-isak. Setiap kali saya mengucapkan kata ‘Ibu’ deraian air mata yang baru mengalir sehingga saya merasa air mata saya terkuras habis. Ibu—telah tiada! Tetapi dia tidak mungkin meninggal dunia! Hidup tidak bisa berlanjut bagi kami .… Hati saya yang berusia 11 tahun terasa akan meledak.”2

Lima puluh tahun kemudian, Penatua Spencer W. Kimball, ketika itu anggota Kuorum Dua Belas Rasul, mendapati dirinya jauh dari rumah, memulihkan diri setelah operasi besar. Tidak dapat tidur, dia mengenang hari ketika ibunya meninggal: “Saya merasa ingin menangis lagi sekarang … sewaktu ingatan saya membawa saya kembali ke jalan yang menyedihkan itu.”3

Menghadapi kesedihan yang mendalam dari pengalaman-pengalaman serupa itu, Spencer W. Kimball selalu menemukan penghiburan dalam doa dan dalam asas-asas Injil. Bahkan pada masa kanak-kanaknya, dia tahu ke mana harus berpaling untuk menerima kedamaian. Seorang teman keluarga menulis mengenai doa-doa Spencer muda—“betapa kehilangan ibunya amat berat membebani hati kecilnya, namun betapa beraninya dia bergumul dengan kedukaannya itu dan mencari penghiburan dari sumber satu-satunya.”4

Dalam masa pelayanannya, Presiden Spencer W. Kimball sering menawarkan kata-kata penghiburan kepada mereka yang meratapi hilangnya orang yang dikasihi. Dia bersaksi akan asas-asas kekal, meyakinkan para Orang Suci bahwa kematian bukanlah akhir dari keberadaan. Berbicara di sebuah pemakaman, dia pernah berkata:

Kita terbatas dalam penglihatan kita. Dengan mata kita, kita dapat melihat hanya beberapa mil saja. Dengan telinga kita, kita dapat mendengar hanya beberapa tahun saja. Kita dikungkung, dikurung, sepertinya, dalam sebuah ruangan, tetapi ketika terang kita pergi keluar dari kehidupan ini, maka kita melihat melampaui keterbatasan fana ….

“Dinding-dinding runtuh, waktu berakhir serta jarak memudar dan menghilang sewaktu kita pergi ke dalam kekekalan … dan kita segera masuk ke dalam sebuah dunia besar yang tidak ada keterbatasan duniawi.”5

Ajaran-Ajaran Spencer W. Kimball

Dalam kebijaksanaan-Nya, Allah tidak selalu mencegah tragedi.

Surat kabar harian menyerukan judul-judul: “Jatuhnya Pesawat Merenggut 43 Nyawa. Tidak Ada yang Selamat dari Tragedi Pegunungan Itu,” dan ribuan suara bergabung dalam seruan: “Mengapa Tuhan membiarkan hal yang mengerikan ini terjadi?”

Dua mobil bertabrakan ketika satu mobil melaju melewati lampu merah, dan enam jiwa melayang. Mengapa Allah tidak mencegah hal ini?

Mengapa ibu muda itu harus meninggal dunia karena kanker dan meninggalkan kedelapan anaknya tanpa seorang ibu? Mengapa Tuhan tidak menyembuhkannya?

Seorang anak kecil mati tenggelam; seorang anak lain ditabrak. Mengapa?

Seorang pria pada suatu hari meninggal secara mendadak karena penyumbatan pembuluh darah ketika dia tengah menaiki tangga. Tubuhnya ditemukan terbaring kaku di lantai. Istrinya menangis dalam kepedihan, “Mengapa? Mengapa Tuhan melakukan ini terhadap saya? Tidak dapatkah Dia mempertimbangkan ketiga anak saya yang masih kecil yang masih membutuhkan seorang ayah?”

Seorang pemuda meninggal di ladang misi dan orang-orang dengan kritis mempertanyakan: “Mengapa Tuhan tidak melindungi pemuda ini ketika dia tengah melakukan pekerjaan mencari jiwa?”

Seandainya saja saya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan wewenang, tetapi saya tidak dapat. Saya yakin bahwa suatu saat nanti kita akan memahami dan akan didamaikan. Tetapi untuk saat ini kita harus mencari pemahaman sebaik mungkin dalam asas-asas Injil.

Apakah Tuhan yang telah mengarahkan pesawat itu menuju pegunungan untuk melenyapkan nyawa para penumpangnya, atau apakah ada masalah mesin atau kekeliruan manusia?

Apakah Bapa kita di surga yang menyebabkan tabrakan mobil-mobil itu yang merenggut nyawa 6 orang ke dalam kekekalan, atau apakah itu kesalahan pengemudi yang mengabaikan peraturan keselamatan?

Apakah Allah yang mengambil nyawa ibu muda itu atau mendorong anak tersebut untuk berjalan tertatih-tatih menuju kanal atau menuntun anak yang lainnya ke jalan yang dilalui mobil itu?

Apakah Tuhan yang menyebabkan pria itu terkena serangan jantung? Apakah kematian misionaris itu tidak tepat waktu? Jawablah, jika Anda sanggup. Saya tidak sanggup, karena meskipun saya tahu bahwa Allah memiliki peranan besar dalam kehidupan kita, saya tidak tahu seberapa banyak yang disebabkan-Nya terjadi dan seberapa banyak yang sekadar Dia biarkan. Apa pun jawaban atas pertanyaan ini, ada satu hal lagi yang mengenainya saya yakin.

Dapatkah Tuhan mencegah tragedi-tragedi ini? Jawabannya adalah, Ya. Tuhan adalah mahakuasa, dengan segala kuasa untuk mengendalikan hidup kita, menghindarkan kita dari rasa sakit, mencegah semua kecelakaan, mengemudikan semua pesawat dan mobil, memberi kita makan, melindungi kita, menyelamatkan kita dari kerja, upaya keras, penyakit, bahkan dari kematian, jika Dia inginkan. Tetapi Dia tidak akan melakukannya.

Kita seharusnya dapat memahami hal ini, karena kita dapat menyadari betapa tidak bijaksananya bagi kita untuk melindungi anak-anak kita dari segala upaya keras, dari kekecewaan, godaan, kedukaan, dan penderitaan.

Hukum dasar Injil adalah hak pilihan bebas dan perkembangan kekal. Memaksa kita untuk berhati-hati atau saleh berarti meniadakan hukum mendasar itu dan menjadikan pertumbuhan tidak mungkin.6

Dengan sebuah sudut pandang kekal, kita memahami bahwa kemalangan adalah perlu bagi kemajuan kekal kita.

Jika kita memandang kefanaan sebagai keseluruhan dari keberadaan, maka rasa sakit, kedukaan, kegagalan, dan hidup yang singkat akan merupakan bencana. Tetapi jika kita memandang kehidupan sebagai sesuatu yang kekal merentang jauh ke masa lalu prafana dan terus hingga masa depan setelah kematian yang kekal, maka semua kejadian dapat diletakkan pada perspektif yang tepat.

Tidak adakah kebijaksanaan dalam diberi-Nya kita pencobaan agar kita boleh bangkit melampauinya, tanggung jawab agar kita dapat mencapai, bekerja untuk mengeraskan otot-otot kita, kedukaan untuk menguji jiwa kita? Bukankah kita dihadapkan pada godaan untuk menguji kekuatan kita, penyakit agar kita boleh belajar kesabaran, kematian agar kita boleh menjadi baka dan dimuliakan?

Jika semua orang yang sakit yang kita doakan disembuhkan, jika semua yang saleh dilindungi dan yang jahat dihancurkan, seluruh program Bapa akan ditiadakan dan asas dasar Injil, hak pilihan bebas, akan berakhir. Tidak seorang pun akan perlu hidup dengan iman.

Jika sukacita dan kedamaian serta pahala secara langsung diberikan kepada pelaku kebaikan, tidak akan ada kejahatan—semua akan melakukan yang baik bukan karena benarnya melakukan yang baik. Tidak akan ada ujian kekuatan, tidak ada perkembangan karakter, tidak ada pertumbuhan kekuatan, tidak ada hak pilihan bebas, hanya kendali yang bersifat kesetanan.

Seandainya semua doa segera dijawab sesuai dengan hasrat kita yang mementingkan diri dan pemahaman kita yang terbatas, maka hanya akan ada sedikit atau bahkan tidak ada penderitaan, kedukaan, kekecewaan, atau bahkan kematian, dan jika semua ini tidak ada, maka juga tidak akan ada sukacita, keberhasilan, kebangkitan, ataupun kehidupan kekal dan keilahian.

“Karena perlu kiranya bahwa harus ada pertentangan dalam segala hal … keadilan … kejahatan … kekudusan … kesengsaraan … kebaikan … kejahatan …” (2 Nefi 2:11).

Sebagai manusia, kita akan mengeluarkan dari hidup kita rasa sakit jasmani dan penderitaan batin serta memastikan bagi diri kita sendiri kemudahan dan kenyamanan yang berkesinambungan, tetapi jika kita harus menutup pintu terhadap kedukaan dan tekanan, kita bisa jadi tidak menyertakan teman-teman dan dermawan-dermawan kita yang terbesar. Penderitaan dapat menjadikan orang suci dari orang biasa sewaktu mereka belajar kesabaran, panjang sabar, dan pengendalian diri .…

Saya menyukai bait dari “Teguhlah Landasan”—

Ke air yang dalam Aku memanggilmu,

Tak ‘kan tenggelam dalam deritamu.

Kesukaranmu akan menguatkan

Dan murnikan engkau lewat cobaan. [Lihat Nyanyian Rohani, no. 28]

Dan Penatua James E. Talmage menulis: “Tidak ada kepedihan yang diderita oleh pria atau wanita di muka bumi yang tidak memiliki dampak yang bersifat imbalan … jika itu dihadapi dengan kesabaran.”

Di sisi lain, hal-hal ini dapat melumatkan kita dengan dampak hebatnya jika kita menyerah pada kelemahan, menggerutu, dan kritikan.

“Tidak ada rasa sakit yang kita derita, tidak ada pencobaan yang kita alami yang sia-sia. Itu bermanfaat untuk pendidikan kita, menuju pengembangan dari sifat-sifat seperti kesabaran, iman, ketegaran dan kerendahan hati. Semua yang kita derita dan semua yang kita tanggung, terutama jika kita menanggungnya dengan sabar, membangun karakter kita, memurnikan hati kita, meluaskan jiwa kita, dan menjadikan kita lebih lembut dan berkasih amal, lebih layak disebut anak-anak Allah … serta melalui duka dan penderitaan, kerja keras serta kesengsaraanlah, maka kita memperoleh pendidikan sehingga kita datang ke sini untuk mendapatkannya dan yang akan menjadikan kita lebih seperti Bapa dan Ibu kita di surga .…” (Orson F. Whitney).

Ada orang-orang yang getir sewaktu mereka menyaksikan orang yang dikasihi menderita kesengsaraan dan rasa sakit yang tak habis-habisnya serta siksaan jasmani. Beberapa orang akan menuduh Tuhan dengan ketidakbaikan, ketidakpedulian, dan ketidakadilan. Kita sungguh tidak berhak untuk menghakimi! …

Kuasa imamat tidaklah terbatas tetapi Allah telah dengan bijaksana menempatkan ke atas kita masing-masing batasan-batasan tertentu. Saya dapat mengembangkan kuasa imamat sewaktu saya mengembangkan kehidupan saya, namun saya bersyukur bahwa bahkan melalui imamat saya tidak dapat menyembuhkan semua yang sakit. Saya dapat saja menyembuhkan orang yang seharusnya meninggal. Saya dapat saja membebaskan orang yang menderita yang seharusnya menderita. Saya takut saya akan mengacaukan tujuan-tujuan Allah.

Seandainya saya memiliki kuasa yang tidak terbatas, namun visi dan pemahaman yang terbatas, saya mungkin telah menyelamatkan Abinadi dari kobaran api ketika dia dibakar di tiang kayu itu, dan dengan melakukan itu saya dapat saja telah merusaknya tanpa bisa diperbaiki. Dia mati sebagai seorang martir dan pergi menuju pahala yang menantikan seorang martir—permuliaan.

Saya dapat saja melindungi Paulus melawan derita-deritanya jika kuasa saya tidak ada batasnya. Saya tentunya akan menyembuhkan “duri di dalam daging”-Nya [2 Korintus 12:7]. Dan dengan melakukan ini saya mungkin telah menggagalkan program Tuhan. Tiga kali dia mengucapkan doa, memohon kepada Tuhan agar mengambil “duri” itu dari dirinya, tetapi Tuhan tidak begitu saja menjawab doanya [lihat 2 Korintus 12:7–10]. Paulus sering kali bisa kehilangan dirinya seandainya saja dia fasih, sejahtera, cakap, dan bebas dari hal-hal yang menjadikannya rendah hati .…

Saya takut bahwa seandainya saya yang berada di penjara Carthage tanggal 27 Juni 1844, saya mungkin telah mengalihkan peluru-peluru yang menghunjam tubuh sang Nabi dan Bapa Bangsa. Saya mungkin akan menyelamatkan mereka dari penderitaan dan kesakitan, tetapi hilanglah bagi mereka kematian dan pahala seorang martir. Saya senang saya tidak perlu membuat keputusan itu.

Dengan kekuatan yang begitu tidak terkendalikan, saya pasti akan merasa perlu melindungi Kristus dari penderitaan di Getsemani, ejekan-ejekan, mahkota berduri, ketidakwibawaan dalam pengadilan, luka-luka jasmani. Saya akan merawat luka-luka-Nya dan menyembuhkannya, memberi-Nya air yang menyejukkan daripada cuka. Saya mungkin menyelamatkan Dia dari penderitaan dan kematian, dan hilanglah bagi dunia Kurban Tebusan-Nya.

Saya tidak akan berani mengambil tanggung jawab dari mengembalikan pada kehidupan orang-orang yang saya kasihi. Kristus sendiri mengakui perbedaan antara kehendak-Nya dengan kehendak Bapa ketika Dia berdoa agar cawan penderitaan itu diambil dari diri-Nya; namun Dia menambahkan, “Tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” [Lukas 22:42].7

Kematian dapat membuka pintu menuju kesempatan-kesempatan yang mulia.

Bagi orang yang meninggal, kehidupan berjalan terus dan hak pilihan bebasnya berlanjut, dan kematian, yang tampaknya bagi kita merupakan bencana besar, dapat merupakan sebuah berkat terselubung .…

Jika kita mengatakan bahwa kematian dini merupakan suatu bencana, malapetaka, atau tragedi, bukankah itu berarti mengatakan bahwa kefanaan lebih diinginkan daripada kesempatan masuk yang lebih awal ke dalam dunia roh dan pada akhirnya keselamatan serta permuliaan? Jika kefanaan adalah keadaan yang sempurna, maka kematian akan merupakan suatu kekalutan, tetapi Injil mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada tragedi dalam kematian, tetapi hanya dalam dosa. “… diberkatilah orang-orang mati, yang … mati di dalam Tuhan …” (lihat A&P 63:49).

Kita tahu sangat sedikit. Penilaian kita sangat terbatas. Kita menilai jalan-jalan Tuhan dari pandangan sempit kita sendiri.

Saya berbicara pada upacara pemakaman seorang mahasiswa muda Universitas Brigham Young yang meninggal dalam Perang Dunia II. Ada ratusan ribu pemuda yang tergesa-gesa diantarkan sebelum waktunya ke dalam kekekalan melalui amukan perang itu, dan saya membuat pernyataan bahwa saya percaya pemuda yang saleh ini telah dipanggil ke dunia roh untuk mengkhotbahkan Injil kepada jiwa-jiwa yang terkekang ini. Ini mungkin tidak berlaku untuk semua yang meninggal, tetapi saya merasa ini berlaku baginya.

Dalam penglihatannya mengenai “Penebusan Orang yang Telah Meninggal” Presiden Joseph F. Smith melihat hal yang sama .… Dia menulis:

… Aku berpendapat bahwa Tuhan secara pribadi tidak pergi ke antara orang yang jahat dan yang tidak patuh yang menolak kebenaran … tetapi lihatlah, di antara yang benar, Dia mengatur kekuatan-Nya … dan memerintahkan mereka untuk maju dan membawa terang Injil ….

“… Penebus kita menggunakan waktunya … di dunia roh, mengajar serta mempersiapkan roh-roh … yang setia … yang telah bersaksi mengenai Dia sewaktu bertubuh jasmani. Supaya mereka dapat membawa kabar penebusan kepada semua orang yang telah meninggal, yang tidak dapat dikunjungi-Nya secara pribadi, disebabkan sikap menentang dan pelanggaran mereka .…

Aku melihat bahwa para penatua yang setia pada kelegaan kegenapan zaman sekarang ini, sewaktu mereka meninggalkan dari kehidupan yang fana ini, melanjutkan pekerjaan mereka dalam memberitakan Injil pertobatan serta penebusan” [lihat Joseph F. Smith—Penglihatan mengenai Penebusan Orang yang Telah Meninggal: 29–30, 36–37, 57].

Kematian, karenanya, mungkin adalah terbukanya pintu menuju kesempatan-kesempatan, termasuk untuk mengajarkan Injil Kristus.8

Pada masa-masa percobaan, kita harus percaya kepada Allah.

Terlepas dari kenyataan bahwa kematian membukakan pintu-pintu baru, kita tidaklah mencarinya. Kita dinasihati untuk berdoa bagi mereka yang sakit dan menggunakan kuasa imamat kita untuk menyembuhkan mereka.

“Dan para penatua gereja, dua orang atau lebih, akan dipanggil dan akan mendoakannya serta menumpangkan tangan ke atasnya dalam nama-Ku; dan jika mereka mati, mereka akan mati bagi-Ku, dan jika mereka hidup mereka akan hidup bagi-Ku.

Kamu harus hidup bersama dalam kasih, sedemikian rupa sehingga kamu akan menangisi mereka yang meninggal dan lebih khusus lagi bagi mereka yang tidak mempunyai pengharapan untuk kebangkitan yang mulia.

Dan akan terjadi bahwa mereka yang mati di dalam nama-Ku tidak akan merasakan kematian, karena hal itu akan manis bagi mereka;

Dan mereka yang tidak mati di dalam-Ku, celakalah mereka, karena kematian mereka pahit.

Dan lagi, akan terjadi bahwa dia yang beriman kepada-Ku untuk disembuhkan dan tidak ditetapkan untuk mati, akan disembuhkan” (A&P 42:44–48)

Kita diyakinkan oleh Tuhan bahwa yang sakit akan disembuhkan jika tata cara dilakukan, jika ada cukup iman, dan jika yang sakit “tidak ditetapkan untuk mati.” Tetapi ada tiga faktor, yang semuanya harus dipenuhi. Banyak yang tidak menuruti tata cara itu, dan sejumlah besar tidak berkeinginan atau tidak mampu menjalani iman yang cukup. Tetapi faktor yang lainnya juga tampaknya penting: Jika mereka tidak ditetapkan untuk mati.

Semua orang harus mati. Kematian adalah bagian yang penting dari kehidupan. Tentunya, kita tidak pernah benar-benar siap untuk perubahan itu. Tidak tahu kapan perubahan itu datang, kita secara pantas berjuang untuk mempertahankan kehidupan kita. Meskipun demikian kita hendaknya tidak takut akan kematian. Kita berdoa bagi yang sakit, kita melakukan tata cara bagi yang menderita, kita memohon kepada Tuhan untuk menyembuhkan serta mengurangi rasa sakit dan menyelamatkan nyawa serta menunda kematian, dan memang tepatlah demikian, tetapi bukan karena kekekalan begitu menakutkan .…

Seperti dikatakan Pengkhotbah (3:2), saya yakin bahwa ada waktunya untuk mati, tetapi juga saya percaya bahwa banyak orang yang mati sebelum “waktu mereka” karena mereka ceroboh, merundung tubuh mereka, mengambil risiko yang tidak perlu, atau membukakan diri mereka kepada bahaya, kecelakaan, dan penyakit .…

Allah mengendalikan hidup kita, menuntun dan memberkati kita, tetapi memberi kita hak pilihan kita. Kita boleh menjalani hidup kita sesuai dengan rencana-Nya bagi kita atau kita boleh dengan bodoh memperpendek atau menghabisinya.

Saya pasti dalam benak saya bahwa Tuhan telah merencanakan tujuan akhir kita. Suatu saat kita akan paham sepenuhnya, dan ketika kita memandang kembali dari tempat yang menguntungkan di masa depan, kita akan puas dengan banyak kejadian dalam kehidupan ini yang begitu sulit untuk kita pahami.

Kita kadang-kadang berpikir ingin mengetahui apa yang terhampar di depan, tetapi pemikiran yang sadar diri membawa kita kembali pada menerima kehidupan hari demi hari serta meningkatkan dan memuliakan hari itu .…

Kita tahu sebelum kita dilahirkan bahwa kita datang ke bumi untuk memperoleh tubuh jasmani dan pengalaman dan bahwa kita akan memiliki sukacita serta dukacita, kemudahan dan rasa sakit, kenyamanan dan kesulitan, kesehatan serta penyakit, keberhasilan dan kekecewaan, dan kita tahu pula bahwa setelah suatu kurun waktu kehidupan kita akan mati. Kita menerima semua peristiwa ini dengan hati yang senang, bersemangat untuk menerima baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Kita dengan semangat menerima kesempatan untuk datang ke bumi meskipun itu hanya untuk sehari atau setahun. Mungkin kita tidak begitu khawatir apakah kita akan mati karena penyakit, karena kecelakaan, atau karena pikun. Kita bersedia menerima kehidupan apa adanya dan sebagaimana kita dapat mengatur serta mengendalikannya, dan ini tanpa gerutuan, keluhan, atau tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal.

Dalam menghadapi tragedi yang nyata kita harus menempatkan kepercayaan kita kepada Allah, mengetahui bahwa terlepas dari pandangan kita yang terbatas, maksud-Nya tidak akan gagal. Dengan segala kesulitannya, hidup menawarkan kepada kita kesempatan istimewa yang luar biasa untuk tumbuh dalam pengetahuan dan kebijaksanaan, iman dan pekerjaan, dalam mempersiapkan diri untuk kembali serta menikmati kemuliaan Allah.9

Saran bagi Pembelajaran dan Pengajaran

Pertimbangkan gagasan-gagasan ini sewaktu Anda mempelajari bab ini atau sewaktu Anda mempersiapkan diri untuk mengajar. Untuk bantuan tambahan, lihat halaman v–x.

  • Mengapa Tuhan tidak melindungi kita dari segala duka dan penderitaan? (lihat 16–17).

  • Pelajari halaman 20, dengan mencari apa yang hilang bagi kita jika Tuhan tidak memperkenankan kita untuk mengalami pencobaan. Bagaimana hendaknya kita menanggapi pencobaan dan penderitaan kita? Bagaimana Tuhan telah menguatkan Anda dalam pencobaan Anda?

  • Bacalah alinea yang dimulai dengan “Ada orang yang …” di halaman 19. Mengapa begitu sulit untuk melihat orang yang dikasihi menderita? Apa yang dapat kita lakukan untuk menghindar dari menjadi getir atau putus asa pada saat-saat seperti itu?

  • Ulaslah halaman 19–23, dengan mencari ajaran-ajaran mengenai berkat-berkat imamat. Kapan Anda pernah menyaksikan kuasa penyembuhan atau penghiburan imamat? Dengan cara apa kita dapat menanggapi ketika kita belajar bahwa bukanlah kehendak Tuhan bagi orang yang dikasihi untuk disembuhkan atau bagi kematian untuk ditunda?

  • Bagaimana Anda akan menjelaskan ajaran-ajaran Presiden Kimball mengenai kematian kepada seorang anak?

  • Presiden Kimball mengajarkan, “Dalam menghadapi tragedi yang nyata kita harus menempatkan kepercayaan kita kepada Allah” 25. Ketika seseorang percaya kepada Allah, apa yang dapat dia lakukan pada saat percobaan?

Tulisan Suci Terkait: Mazmur 116:15; 2 Nefi 2:11–16; 9:6; Alma 7:10–12; A&P 121:1–9; 122:1–9

Catatan

  1. Dalam Edward L. Kimball and Andrew E. Kimball Jr., Spencer W. Kimball (1977), 43.

  2. Dalam Spencer W. Kimball, 46.

  3. Dalam Spencer W. Kimball, 46.

  4. Joseph Robinson, dalam Spencer W. Kimball, 46.

  5. The Teachings of Spencer W. Kimball, diedit oleh Edward L. Kimball (1982), 40–41.

  6. Faith Precedes the Miracle (1972), 95–96.

  7. Faith Precedes the Miracle, 97–100.

  8. Faith Precedes the Miracle, 100, 101, 102.

  9. Faith Precedes the Miracle, 102–103, 105–106.