2015
Diberkati dan Berbahagialah Mereka yang Menaati Perintah-Perintah Allah
November 2015


Diberkati dan Berbahagialah Mereka yang Menaati Perintah-Perintah Allah

Penghalang yang dibangun oleh Tuhan menciptakan bagi kita pelabuhan yang aman dari pengaruh-pengaruh jahat dan menghancurkan.

Beberapa waktu lalu selagi berkunjung ke Australia, saya bepergian ke teluk tapal kuda yang terkenal karena tempat selancarnya. Sewaktu saya berjalan menyusuri pantai, saya terpesona oleh keindahan ombak besar yang memecah di luar teluk dan gelombang-gelombang kecil yang bergulir mendekat ke pantai.

Sewaktu saya melanjutkan penyusuran saya, saya menjumpai sekelompok peselancar Amerika. Mereka tampak kecewa terhadap sesuatu, berbicara dengan lantang sambil menunjuk ke arah laut. Ketika saya menanyakan kepada mereka apa yang terjadi, mereka menunjuk ke arah teluk di luar di mana ombak-ombak besar memecah.

“Lihat di sana,” salah satu dari mereka dengan geram berkata kepada saya. “Apakah Anda bisa melihat penghalang?” Melihat dengan lebih dekat sekarang, saya benar-benar melihat sebuah penghalang yang membentang di sepanjang mulut teluk, tepat di mana ombak-ombak besar yang menggoda memecah. Penghalang itu tampak dibuat dari bahan-bahan yang kuat dan ditopang oleh perangkat yang mengapung di atas permukaan laut.

Para peselancar Amerika itu melanjutkan, “Kami di sini dalam perjalanan sekali seumur hidup untuk berselancar di ombak yang besar ini. Kami dapat berselancar melewati ombak-ombak yang lebih kecil yang memecah dalam teluk itu sendiri, namun penghalang-penghalang itu menjadikannya tidak mungkin bagi kami untuk berselancar melewati ombak-ombak besar. Kami tidak tahu mengapa penghalang itu di sana. Yang kami tahu adalah bahwa itu benar-benar memanjakan perjalanan kami.”

Sewaktu para peselancar Amerika itu menjadi lebih kecewa, perhatian saya tertuju pada peselancar terdekat lainnya—seorang pria lebih tua dan tampaknya warga lokal—yang berlutut di atas tanah, menggosok papannya. Dia tampak semakin sabar sewaktu dia mendengarkan semakin banyak keluhan mengenai penghalang itu.

Akhirnya dia bangkit dan berjalan ke arah keompok itu. tanpa berkata apa pun, dia mengeluarkan sepasang teropong dan menyerahkannya kepada salah satu dari para peselancar itu. Masing-masing dari peselancar itu melihat melalui teropong tersebut. Kemudian giliran saya pun tiba. Dengan bantuan pembesar, saya dapat melihat sesuatu yang saya tidak dapat lihat sebelumnya: sirip punggung—hiu-hiu besar sedang makan di karang di sisi lain penghalang itu.

Kelompok itu pun segera menjadi tenang. Peselancar tua itu mengambil kembali teropongnya dan berbalik untuk pergi. Sewaktu dia melakukannya, dia mengucapkan kata-kata yang tidak pernah saya lupakan: “Jangan terlalu kritis terhadap penghalang itu. Itu hanyalah hal yang menjaga Anda dari dilahap.”

Saat kami berdiri di pantai yang indah itu, kami saling bertatapan. Perspektif kami tiba-tiba berubah. Sebuah penghalang yang tampak keras dan restriktif—yang tampak membatasi kesenangan dan kegembiraan dengan menaiki ombak-ombak yang benar-benar besar—telah menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Dengan pemahaman baru kami akan bahaya yang mengintai tepat di bawah permukaan air, penghalang itu sekarang menawarkan perlindungan, keamanan, dan kedamaian.

Sewaktu Anda dan saya menapaki jalan-jalan kehidupan dan mengejar impian kita, perintah dan standar Allah—seperti penghalang—terkadang dapat sulit untuk dipahami. Itu mungkin tampak kaku dan keras, menutup jalan yang kelihatan menyenangkan dan menggembirakan dan yang dilalui oleh banyak yang lain. Sebagaimana Rasul Paulus menguraikan, “Kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar,”1 dengan perspektif terbatas seperti itu, bahwa kita terkadang tidak dapat memahami bahaya-bahaya besar yang tersembunyi tepat di bawah permukaan.

Tetapi Dia yang “memahami segala sesuatu”2 mengetahui secara tepat di mana bahaya itu berada. Dia memberi kita arahan ilahi, melalui perintah-perintah-Nya dan bimbingan penuh kasih-Nya, agar kita boleh menghindari bahaya-bahaya itu—supaya kita dapat menentukan jalan dalam kehidupan kita yang dilindungi dari pemangsa rohani dan rahang-rahang menganga dari dosa yang akan menelan kita seutuhnya.3

Kita memperlihatkan kasih kita bagi Allah—dan iman kita kepada-Nya—dengan melakukan yang terbaik setiap hari untuk mengikuti jalan yang telah Dia tempatkan bagi kita dan dengan menaati perintah-perintah yang telah Dia berikan kepada kita. Kita khususnya memperlihatkan iman dan kasih itu dalam situasi-situasi di mana kita tidak sepenuhnya memahami alasan bagi perintah Allah atau jalan tertentu yang Dia katakan harus kita ambil. Adalah keputusan yang relatif mudah untuk mengikuti jalan di dalam penghalang setelah kita tahu ada pemangsa-pemangsa bergigi tajam yang bergerombol tepat di luar penghalang. Adalah lebih sulit untuk menjaga jalan di dalam penghalang ketika semua yang dapat kita lihat adalah ombak yang menggetarkan dan mengundang—saat-saat ketika kita memilih untuk menjalankan iman kita, menaruh kepercayaan kita kepada Allah, dan memperlihatkan kasih kita kepada-Nya—di mana kita tumbuh dan memperoleh manfaat terbaik.

Dalam Perjanjian Baru, Ananias tidak dapat memahami perintah Tuhan untuk mencari dan memberkati Saul—seorang pria yang secara harfiah memiliki surat izin untuk memenjarakan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Namun karena dia mematuhi perintah Allah, Ananias merupakan alat dalam kelahiran rohani Rasul Paulus.4

Sewaktu kita memercayai Tuhan, menjalankan iman kita, menaati perintah-perintah-Nya, dan mengikuti nasihat yang telah Dia tetapkan bagi kita—sewaktu kita menyerahkan diri kita pada kehendak-Nya—kita menjadi lebih seperti orang yang Tuhan kehendaki kita untuk menjadi. Dalam “menjadi” inilah—keinsafan hati inilah—yang paling penting. Sebagaimana Penatua Dallin H. Oaks telah mengajarkan kepada kita, “Tidaklah cukup bagi siapa pun untuk sekadar melakukan apa yang benar. Perintah-perintah, tata cara-tata cara, dan perjanjian-perjanjian Injil bukanlah daftar simpanan yang perlu dibuat dalam rekening surgawi. Injil Yesus Kristus adalah rencana yang memperlihatkan kepada kita untuk menjadi apa yang Bapa Surgawi kehendaki kita harus menjadi.”5

Karena itu, kepatuhan sejati, adalah memberikan diri kita seutuhnya kepada-Nya dan memperkenankan Dia memetakan jalan kita baik di perairan yang tenang maupun di perairan yang ganas, memahami bahwa Dia dapat menjadikan diri kita lebih baik.

Sewaktu kita menyerahkan diri kita pada kehendak-Nya, kita meningkat dalam kedamaian dan kebahagiaan. Raja Benyamin mengajarkan bahwa mereka yang menaati perintah-perintah Allah—yang mengikuti kepemimpinan-Nya—“diberkati dan bahagia … dalam segala hal, baik duniawi maupun rohani.”6 Allah ingin kita memiliki sukacita. Dia ingin kita memiliki kedamaian. Dia ingin kita berhasil. Dia ingin kita selamat dan dilindungi dari pengaruh-pengaruh duniawi di sekitar kita.

Dengan kata lain, perintah-perintah Tuhan bukanlah labirin penghalang di bawah laut yang melelahkan sehingga kita harus belajar untuk dengan enggan bertahan dalam kehidupan ini agar kita dapat ditinggikan di kehidupan berikutnya. Alih-alih, penghalang-penghalang yang dibangun oleh Tuhan menciptakan bagi kita pelabuhan yang aman dari pengaruh-pengaruh jahat dan menghancurkan yang sebaliknya akan menyeret kita ke bawah di kedalaman keputusasaan. Perintah-perintah Tuhan diberikan karena kasih dan kepedulian; itu dimaksudkan untuk sukacita kita dalam kehidupan ini7 sama baiknya itu dimaksudkan untuk sukacita dan permuliaan kita di kehidupan selanjutnya. Itu menandai jalan yang seharusnya kita ambil—dan yang lebih penting, itu membantu kita memahami siapa kita hendaknya menjadi.

Sebagaimana dalam semua hal yang baik dan benar, Yesus Kristus berdiri sebagai teladan terbaik. Tindakan terbesar kepatuhan dalam segala kekekalan terjadi ketika Putra menyerahkan Diri-Nya Sendiri pada kehendak Bapa. Memohon dalam kerendahhatian terdalam agar cawan itu boleh disingkirkan—agar Dia dapat menjalani sejumlah jalan lain daripada jalan yang telah ditandai bagi-Nya—Kristus menyerahkan Diri-Nya Sendiri pada jalan yang Bapa-Nya ingin Dia ambil. Itu adalah jalan yang menuntun ke Getsemani dan Golgota, di mana Dia menanggung penderitaan yang tak terkatakan dan menderita serta di mana Dia benar-benar ditinggalkan ketika roh Bapa-Nya undur diri. Namun jalan yang sama itu berakhir di sebuah kubur kosong pada hari ketiga, dengan seruan “Dia telah bangkit!”8 terdengar di telinga dan hati mereka yang mengasihi-Nya. Itu termasuk sukacita dan penghiburan tak terbayangkan yang terpusat pada Pendamaian-Nya bagi semua anak Allah di sepanjang kekekalan. Dengan mengizinkan kehendak-Nya ditelan oleh kehendak Bapa—dengan mengikuti perintah-perintah Bapa—Kristus memberi kita janji akan kedamaian kekal, sukacita kekal, dan kehidupan kekal.

Saya bersaksi bahwa kita adalah anak-anak dari Bapa yang penuh kasih. Saya bersaksi bahwa Dia ingin kita menjadi bahagia dan aman serta diberkati. Untuk itulah, Dia telah menetapkan bagi kita jalan yang menuntun kembali kepada-Nya, dan Dia telah membangun penghalang-penghalang yang akan melindungi kita di sepanjang jalan. Sewaktu kita melakukan yang terbaik untuk mengikuti jalan itu, kita menemukan keamanan, kebahagiaan, dan kedamaian sejati. Dan sewaktu kita menyerah pada kehendak-Nya, kita menjadi sebagaimana yang Dia kehendaki. Dalam nama Yesus Kristus, amin.