2006
Hari Minggu Akan Datang
November 2006


Hari Minggu Akan Datang

Karena kehidupan dan pengurbanan kekal Juruselamat dunia, kita akan bersatu kembali dengan mereka yang kita kasihi.

Saya bersyukur berada bersama Anda pada hari ini dan mendapatkan kekuatan dari kesaksian Anda. Lebih dari kata-kata yang dapat diungkapkan, saya bersyukur atas dukungan kata-kata manis, ungkapan kasih, dan doa-doa Anda.

Pada hari ini saya ingin membicarakan beberapa kenangan pribadi.

Saya dilahirkan dari orang tua yang baik-baik. Dari ayah saya, Joseph L. Wirthlin, saya belajar nilai kerja keras dan keprihatinan. Dia adalah seorang uskup dari lingkungan kami selama masa Depresi Besar. Dia memiliki keprihatinan yang sungguh-sungguh bagi mereka yang berada dalam keadaan susah. Dia menjangkau mereka yang membutuhkan bukan karena itu adalah kewajibannya tetapi karena hal itu merupakan keinginannya yang tulus.

Dia tanpa merasa lelah memerhatikan dan memberkati kehidupan mereka yang menderita. Dalam pikiran saya, dia adalah seorang uskup ideal.

Mereka yang mengenal ayah saya tahu bagaimana aktifnya dia. Seseorang memberitahu saya bahwa dia dapat melakukan pekerjaan tiga orang. Dia jarang bekerja dengan lamban. Pada tahun 1938 dia menjalankan bisnis yang cukup sukses ketika dia menerima panggilan dari Presiden Gereja, Heber J. Grant.

Presiden Grant memberi tahu dia bahwa mereka mengorganisasi kembali Keuskupan Ketua pada saat itu dan menginginkan ayah saya untuk melayani sebagai penasihat LeGrand Richards. Hal ini mengejutkan ayah saya, dan dia menanyakan apakah dia dapat berdoa mengenai tugas itu terlebih dahulu.

Presiden Grant berkata, “Brother Wirthlin, kita hanya memiliki waktu 30 menit sebelum sesi konferensi berikutnya dan saya ingin beristirahat sejenak. Bagaimana menurut Anda?’’

Tentu saja, ayah saya mengatakan ya. Dia melayani selama 23 tahun, 9 tahun darinya adalah sebagai Uskup Ketua Gereja.

Ayah saya berusia 69 tahun ketika dia meninggal. Saya berada bersamanya ketika dia tiba-tiba jatuh dan segera setelah itu meninggal.

Saya sering memikirkan tentang ayah saya. Saya merindukan dia.

Ibu saya, Madeline Bitner, adalah seorang yang berpengaruh besar lainnya dalam kehidupan saya. Dalam masa mudanya, dia adalah seorang atlet yang baik dan seorang juara lari jarak pendek. Dia selalu baik hati dan mengasihi, tetapi pergerakannya sangat melelahkan. Seringkali dia mengatakan, “Cepat-cepat.” Dan ketika dia melakukannya, kami mengambil langkah dengan cepat. Mungkin itu merupakan salah satu alasan saya memiliki kecepatan ketika saya bermain sepak bola.

Ibu saya memiliki harapan yang besar bagi anak-anaknya dan berharap yang terbaik dari mereka. Saya masih dapat mengingat perkataannya, “Jangan menjadi semak belukar. Anda harus melakukan yang terbaik.” Semak belukar adalah perkataannya untuk seseorang yang malas dan tidak mau mengangkat potensinya.

Ibu saya meninggal ketika dia berusia 87 tahun dan saya sering memikirkannya serta merindukannya lebih dari yang dapat saya katakan.

Adik perempuan saya Judith adalah seorang pengarang, penggubah, dan pendidik. Dia menyukai banyak hal meliputi Injil, musik, dan arkeologi. Ulang tahun Judith hanya beberapa hari sebelum ulang tahun saya. Setiap tahun, saya memberinya satu dolar uang baru sebagai hadiah ulang tahun saya untuknya. Tiga hari kemudian, dia memberi saya 50 sen sebagai hadiah ulang tahun darinya untuk saya.

Judith meninggal beberapa tahun yang lalu. Saya merindukannya dan sering memikirkannya.

Dan itu membawa saya kepada istri saya, Elisa. Saya ingat pertama kali saya bertemu dia. Sebagai bantuan kepada seorang teman, saya pergi untuk menjemput saudara perempuannya, Frances. Elisa membukakan pintu, dan setidaknya bagi saya, itu merupakan cinta pada pandangan pertama.

Saya pikir dia pasti memiliki suatu perasaan juga, untuk kata-kata pertamanya saya ingat perkataannya adalah, “Saya tahu siapa Anda.”

Elisa mengambil jurusan bahasa Inggris.

Sampai hari ini saya masih menghargai lima kata tersebut sebagai kata-kata yang paling indah dari bahasa manusia.

Dia senang bermain tenis dan memiliki pukulan yang sangat cepat. Saya mencoba untuk bermain tenis dengannya tetapi akhirnya berhenti setelah menyadari bahwa saya tidak dapat memukul bola yang tidak dapat saya lihat.

Dia adalah kekuatan dan sukacita saya. Karena dia, saya menjadi seorang pria, suami, dan ayah yang lebih baik. Kami menikah, memiliki delapan anak, dan berjalan bersama selama 65 tahun kehidupan.

Saya berutang lebih banyak kepada istri saya daripada apa yang dapat saya ungkapkan. Saya tidak tahu apakah ada pernikahan yang sempurna, tetapi dari sudut pandang saya, saya pikir pernikahan kami sempurna.

Ketika Presiden Hinckley berbicara pada pemakaman Sister Wirthlin, dia mengatakan bahwa adalah suatu kehancuran, dan hal yang menggerogoti untuk kehilangan seseorang yang Anda cintai. Itu menggangu jiwa Anda.

Dia benar. Sebagaimana Elisa adalah sukacita terbesar saya, sekarang kepergiannya merupakan kesedihan terbesar saya.

Dalam jam-jam kesendirian saya, saya telah meluangkan waktu yang cukup lama untuk memikirkan mengenai hal-hal yang kekal. Saya telah merenungkan ajaran-ajaran yang menghibur tentang kehidupan kekal.

Selama kehidupan saya, saya telah mendengarkan banyak khotbah tentang Kebangkitan. Seperti Anda, saya dapat menceriterakan kejadian pada Minggu Paskah pertama. Saya telah menandai pasal-pasal tulisan suci saya mengenai Kebangkitan dan dengan mudah saya dapat menemukan kunci pernyataan yang dikeluarkan oleh para nabi zaman akhir mengenai topik ini.

Kita tahu apa Kebangkitan itu—bersatunya kembali antara roh dan tubuh dalam bentuknya yang sempurna.1

Presiden Joseph F. Smith mengatakan “bahwa mereka yang dengannya kita harus berpisah di sini, kita akan bertemu kembali dan melihat mereka sama seperti mereka adanya. Kita akan menemui makhluk identik yang sama dengan yang telah kita kenal di sini dalam daging.”2

Presiden Spencer W. Kimball menegaskan hal ini ketika dia mengatakan, “Saya yakin bahwa ketika kita dapat membayangkan diri kita sendiri dalam keadaan paling baik, secara jasmani, mental, rohani, dalam keadaan seperti itulah kita akan kembali.”3

Ketika kita dibangkitkan, “tubuh fana ini dibangkitkan menjadi tubuh baka … [kita] tidak akan mati lagi.”4

Dapatkah Anda membayangkan itu? Hidup dalam keadaan prima? Tidak pernah sakit, tidak pernah sedih, tidak pernah terbebani oleh sakit yang sering menimpa kita dalam kefanaan?

Kebangkitan adalah inti dari kepercayaan kita sebagai umat Kristen. Tanpa itu, iman kita tidak berarti. Rasul Paulus mengatakan, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan [kita].”5

Sepanjang sejarah dunia ada banyak jiwa yang hebat dan bijaksana, banyak yang menuntut pengetahuan Allah yang sempurna. Tetapi ketika Juruselamat bangkit dari kubur, Dia melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapa pun. Dia melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun. Dia memutuskan belenggu kematian, bukan hanya untuk diri-Nya sendiri, tetapi untuk semua yang pernah hidup—baik orang-orang yang benar maupun orang-orang yang tidak benar.6

Ketika Kristus bangkit dari kubur, menjadi buah yang pertama dari kebangkitan, Dia membuat karunia ini tersedia bagi semua orang. Dan dengan perbuatan yang agung ini, Dia meringankan kepedihan, penderitaan yang menggerogoti jiwa mereka yang telah kehilangan orang-orang terkasih yang berharga.

Saya berpikir betapa gelapnya hari Jumat itu ketika Kristus diangkat ke atas kayu salib.

Pada hari Jumat yang mengerikan itu bumi berguncang dan gelap. Badai yang menakutkan menerjang bumi.

Orang-orang jahat yang menginginkan nyawa-Nya bersukacita. Bahwa sekarang tidak ada lagi Yesus, sungguh mereka yang mengikuti Dia akan tercerai-berai. Pada hari itu, mereka berdiri dengan kemenangan.

Pada hari itu tabir bait suci terbelah menjadi dua.

Maria Magdalena dan Maria, ibu Yesus, keduanya diliputi rasa dukacita dan putus asa. Manusia luar biasa yang mereka kasihi dan hormati mati tergantung di atas kayu salib.

Pada hari Jumat itu, para rasul sangat putus asa. Yesus, Juruselamat mereka—manusia yang telah berjalan di atas air dan membangkitkan orang mati, diri-Nya Sendiri, karena belas kasihan kepada orang jahat. Mereka menyaksikan tanpa harapan ketika Dia ditaklukkan oleh musuh-Nya.

Pada hari Jumat itu, Juruselamat umat manusia dihina dan dilukai, disiksa dan dicaci-maki.

Itu merupakan hari Jumat yang penuh keputusasaan, penuh dengan penderitaan bagi jiwa mereka yang mengasihi dan menghormati Putra Allah.

Saya berpikir bahwa sepanjang hari-hari dari permulaan sejarah dunia, hari Jumat itu merupakan hari yang paling gelap.

Tetapi malapetaka hari itu tidak bertahan.

Keputusasaan tidak bertahan lama. Karena pada hari Minggu, Tuhan telah bangkit membakar tali kematian. Dia bangkit dari kubur dan tampak dengan kemuliaan sebagai Juruselamat umat manusia.

Dan dalam sekejap, mata yang telah dipenuhi dengan air mata yang bercucuran menjadi kering. Bibir yang membisikkan doa kepedihan dan kesedihan sekarang memenuhi udara dengan pujian yang menggemparkan, karena Yesus Kristus, Putra Allah yang hidup, berdiri di hadapan mereka sebagai buah pertama Kebangkitan, sebagai bukti bahwa kematian hanyalah permulaan dari sebuah keberadaan yang baru dan menakjubkan.

Kita masing-masing memiliki hari Jumat—hari ketika alam semesta kelihatan hancur dan reruntuhan dunia kita bertebaran seperti kepingan sampah di sekitar kita. Kita semua akan mengalami waktu kehancuran tersebut dimana kelihatannya kita tidak dapat dipersatukan kembali. Kita semua akan memiliki hari Jumat kita.

Tetapi saya bersaksi kepada Anda di dalam nama-Nya, satu-satunya yang menaklukkan kematian—hari Minggu akan datang. Di dalam kegelapan penderitaan kita, hari Minggu akan datang.

Betapa pun keputusasaan kita, betapa pun dukacita kita, hari Minggu akan datang. Dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang, hari Minggu akan datang.

Saya bersaksi kepada Anda bahwa Kebangkitan bukanlah dongeng. Kita memiliki kesaksian pribadi mengenai mereka yang melihat-Nya. Ribuan orang di Dunia Lama dan Dunia Baru bersaksi mengenai kebangkitan Juruselamat. Mereka merasakan luka di tangan, kaki, dan lambung-Nya. Mereka meneteskan air mata sukacita yang tak terbatas sewaktu mereka memeluk-Nya.

Setelah Kebangkitan, murid-murid diperbarui. Mereka berjalan berkeliling dunia menyatakan kabar mulia Injil.

Seandainya mereka dapat memilih, mereka dapat menghilang dan kembali pada kehidupan dan pekerjaan mereka sebelumnya. Pada saat itu, kebersamaan mereka dengan-Nya akan terlupakan.

Mereka dapat saja menyangkal keilahian Kristus. Namun mereka tidak melakukannya. Menghadapi bahaya, cemoohan, serta ancaman kematian, mereka memasuki istana, kuil, dan sinagoge dengan berani memaklumkan mengenai Yesus sang Kristus, Putra Allah yang hidup yang telah dibangkitkan.

Banyak dari mereka menyerahkan nyawa mereka yang berharga sebagai kesaksian terakhir. Mereka mati sebagai martir, dengan kesaksian akan Kristus yang telah bangkit di bibir mereka saat mereka binasa.

Kebangkitan mengubah kehidupan mereka yang menyaksikannya. Tidakkah ini akan mengubah kehidupan kita?

Kita semua akan bangkit dari kubur. Dan pada hari itu, ayah saya akan merangkul ibu saya. Pada hari itu, saya akan memeluk kembali Elisa saya yang terkasih.

Karena kehidupan dan pengurbanan kekal Juruselamat dunia, kita akan bersatu kembali dengan mereka yang kita kasihi.

Pada hari itu kita akan mengetahui kasih Bapa Surgawi kita. Pada hari itu, kita akan bersukacita bahwa Mesias telah mengatasi semua sehingga kita dapat hidup selamanya.

Karena tata cara kudus yang kita terima di bait suci, kepergian kita dari kefanaan yang singkat ini tidak akan lama memisahkan hubungan yang telah terikat bersama oleh simpul yang terbuat dari ikatan kekal.

Ini adalah kesaksian saya yang sungguh-sungguh bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan. “Jikalau kita hanya dalam kehidupan ini saja menaruh pengharapan di dalam Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.”7 Karena Kristus telah bangkit, “Maut telah ditelan dalam kemenangan.”8

Karena Penebus kita yang terkasih, kita dapat mengangkat suara kita, bahkan di tengah kegelapan hari Jumat kita, dan menyatakan, “Hai maut, di manakah sengatmu? Hai maut di manakah kemenanganmu?”9

Ketika Presiden Hinckley berbicara mengenai kesepian yang datang kepada mereka yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi, dia juga berjanji bahwa dalam malam yang sunyi suara halus yang tak terdengar membisikkan kedamaian pada jiwa kita: “S’lamatlah, s’lamatlah.”

Saya sangat bersyukur atas ajaran-ajaran Injil yang benar dan karunia Roh Kudus yang telah membisikkan ke dalam jiwa saya penghiburan dan kedamaian kata-kata yang dijanjikan oleh nabi kita yang terkasih.

Dari kedalaman kesedihan, saya telah bersukacita dalam kemuliaan Injil. Saya bersukacita bahwa Nabi Joseph Smith telah dipilih untuk memulihkan Injil ke bumi dalam masa kelegaan terakhir. Saya bersukacita bahwa kita memiliki seorang Nabi, Presiden Gordon B. Hinckley, yang memimpin Gereja Tuhan pada saat ini.

Semoga kita memahami dan hidup penuh syukur untuk karunia-karunia tak ternilai yang datang kepada kita sebagai putra dan putri Bapa Surgawi terkasih dan untuk janji akan hari yang cerah ketika kita semua bangkit dengan kemenangan dari maut.

Dan semoga kita selalu mengetahui bahwa tidak perduli betapa gelapnya hari Jumat kita, hari Minggu akan datang adalah doa saya, dalam nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. Lihat Alma 11:43.

  2. Ajaran-Ajaran Presiden Gereja: Joseph F. Smith (1998), 93.

  3. The Teachings of Spencer W. Kimball, diedit oleh Edward L. Kimball (1982), 45.

  4. Alma 11:45.

  5. 1 Korintus 15:14.

  6. Lihat Yohanes 5:28–29.

  7. 1 Korintus 15:19.

  8. 1 Korintus 15:54.

  9. 1 Korintus 15:55.